Review Buku Bilangan Fu


Judul        : Bilangan Fu
Penulis    : Ayu Utami
Penerbit  : KPG
Cetakan   : 1, Juni 2008
Halaman : 537 + ×
ISBN         : 13978-979-91-0122-8
Rating      : 5/5


Sinopsis Buku :
     Yuda, "si iblis", seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat.
Parang Jati "si malaikat", seorang pemuda berjari 12 yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk menanggung duka dunia. Marja "si manusia", seorang gadis bertubuh taji dan berjiwa matahari.
Mereka terlibat dalam segitiga cinta yang lembut, diantara pengalaman-pengalaman keras yang berawal dari sebuah kejadian aneh -- orang mati yang bangkit dari kubur -- menuju penyelamatan perbukitan gamping di selatan jawa.
Diantara semua itu, Bilangan Fu sayup-sayup menyingkapkan diri.

*

     Pengarang menamai nafas novelnya "spiritualisme kritis". Yaitu, yang mengangkat wacana keberimanan, tanpa terjebak dalam dakwah hitam putih.
     Novel ini adalah manifesto Ayu Utami tentang sebuah sikap yang dianggap perlu diutamakan di zaman ini: sikap religius ataupun spiritual, yang kritis.

**

Review Buku :
     Membaca buku ini adakalanya membuat saya sejenak berhenti untuk memberi jeda berpikir dan menelaah beberapa kosakata yang terdengar asing . Baik itu istilah-istilah dalam pemanjatan ataupun runtutan kalimat yang menceritakan alur kisah mulai dari masa kini, dongeng hikayat, cerita-cerita mistis, takhayul hingga cerita-cerita tentang sejarah.
Cerita diawali dengan petualangan Yuda sebagai seorang pemanjat yang terbiasa melakukan praktek pemanjatan dengan cara-cara kotor. Dengan kata lain memanjat menggunakan alat yang memberi rasa aman secara instan tanpa harus peduli akan sentimentil merusak alam dengan berpikir bahwa apa yang sudah dilakukan melukai tebing lahan panjat itu. Juga dengan kebiasaan Yuda dalam bertaruh ia kerap mengkoleksi bermacam benda aneh yang absurd dan nyeleneh. Benda benda tersebut tersimpan rapi dalam lemari kenang-kenangan taruhannya. Isinya mulai dari botol berisi kentut, foto-foto sensual, buku-buku berjudul aneh, kepompong ulat, komik-komik dan boneka hero, tongkat madura, rusuk tulang manusia hingga sebuah botol selai yang berisi potongan jari kelingking milik teman sepemanjatannya. Namun diantara semua benda aneh itu hanya ada satu benda paling keramat yang memiliki tempat dan perlakuan paling istimewa dari Yuda. Yaitu benda yang di letakkan dalam sebuah kotak perhiasan. Benda istimewa yang mewujud dalam bentuk batu sederhana namun menyimpan kenangan-kenangan yang mengkristal tentang dirinya dan seorang sahabat sejatinya bernama Parang Jati, sosok bermata bak bidadari yang membuat Yuda merasa lemah di hadapannya. Karakter Yuda yang cenderung berprinsip bebas dan tidak ingin terikat dengan hal-hal yang biasa dilakukan masyarakat pada umumnya. Seperti menikah ataupun sekedar menghabiskan waktu senggang dengan menonton tv. Yuda lebih cenderung mengeksplore daya spiritual kebebasannya dalam berpikir dan berlaku hendak dengan berpetualang bersama teman-teman sepemanjatan. Sampai akhirnya disebuah waktu dan tempat yang seperti sudah digariskan ia bertemu dengan Parang Jati, seseorang yang nantinya memberikan Yuda sekelumit pertanyaan ataupun jawaban-jawaban yang membuat Yuda semakin mengenali lebih luas dari sekedar pemanjatan yang biasa dilakukannya. Awalnya sebelum ia mengenal Jati ia selalu memenangkan taruhan-taruhan yang melibatkannya dalam pemanjatan. Tapi entah bagaimana setelah ia mengenal Jati ia seperti menerima begitu saja setiap persyaratan yang dijabarkan Parang Jati untuknya. Ia beranggapan Jati mampu mematahkan argumen-argumennya yang terkesan spontan dan asal. Kehidupan Parang Jati yang perlahan membukakan sudut pandangnya tentang kearifan budaya lokal, tentang kearifan alam semesta & cerita-cerita takhyul yang menyertainya. Namun satu sisi kelemahan Jati belum bisa diterima Yuda, selain sisi kemisteriusan Jati, yaitu tentang sisi kelam bergabungnya Jati dalam sirkus manusia-manusia aneh dalam Saduki Klan yang dikelola oleh Ayah Jati sendiri, bernama Suhubudi.

Tidak banyak dialog-dialog yang disuguhkan dalam buku ini. Mungkin untuk lebih menceritakan secara lebih dalam dari sudut pandang Yuda sebagai sang narasi itu sendiri. Dalam sesi-sesi pemanjatan di Watugunung, Yuda bertemu atau lebih tepatnya menemukan Sebul. Suara-suara angin yang terhembus lewat celah tebing ketika Yuda melakukan pemanjatan. Yuda kadangkala juga bertemu Sebul lewat mimpi-mimpi yang mewahyukan Bilangan Fu sampai akhirnya rasa penasaran menuntunnya untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan Bilangan Fu. Karena dalam mimpi Sebul menyebutkan itu.
Saat bertemu Parang Jati, Yuda sempat dibuat terkejut karena Jati membawanya pada sebuah kisah tentang Hu yang mengarahkan sudut pandang Yuda pada bilangan fu. Sementara Jati yang memiliki keunikan karena memiliki 12 jari-jari (salah satu alasan mengapa ia bisa di kumpulkan dalam gerombolan manusia sirkus Saduki Klan). 12 adalah Hu. Di sinilah keterkejutan Yuda yang membawanya pada misteri keterhubungan antara Hu yang dimaksud Jati dan Fu yang datang dari Sebul lewat mimpinya.

Hu adalah suara ruh. Hurip, Huma, Huni, Hutan, Hujan (hal.159).

Membaca buku ini diperlukan daya keterbukaan pikiran untuk bijaksana dalam memahami dan menilai maksud dari inti cerita yang disampaikan penulis dalam memaparkan kebenaran yang tidak harus diwujudkan agar kekuasaan tidak sampai menjamah kebenaran yang kelak menjadi pembenaran untuk melegitimasi hak-hak hidup orang lain. Dengan latar belakang saat era reformasi di mana sistem demokrasi tengah berkembang namun masih tercium hawa-hawa kekuasaan rezim militer yang belum sepenuhnya berakhir.

Jangan berharap membaca dialog-dialog yang sarat dengan romantisme antara Yuda, Parang Jati dan Marja. Justru yang lebih banyak diceritakan dalam buku ini adalah pergolakan batin Yuda dan Parang Jati dalam menelusuri dan memahami tradisi dan budaya pola pikir masyarakat di lereng Watugunung dan rentetan peristiwa yang menyertainya. Karena keterlibatan Yuda dengan sahabatnya begitu erat jadi mulailah sang kekasih, si Marja turut hanyut dalam kisah petualangan 2 pria berbeda karakter itu.
Cerita dalam novel Bilangan Fu ini terbagi dalam 3 babak, yaitu Modernisme, Monoteisme dan Militerisme. Dalam tiap-tiap babak penulis menceritakan bagaimana 3M ini terindikasi memunculkan masalah baru dalam tiap lini kehidupan bermasyarakat.

1. Bab Modernisme.
Dikisahkan Parang Jati mengungkapkan lewat draft tulisannya, "mengapa kita percaya takhyul? Karena kita telah berkenalan dengan cara berpikir modern. Kesadaran modern membebaskan manusia dari takhyul, dari batas dan ketakutan yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak bisa dibuktikan atau diterangkan akal sehat, persoalannya itu hanya pengandaian saja. Sebab, kesadaran modern ternyata tidak bisa membebaskan manusia dari takhyul. Sebab hanya sebagian yang bebas sebagian lagi tidak. Lantas siapakah yang terbebaskan? yang terbebaskan adalah  mereka yang mendapatkan keuntungan dari kesadaran modern. Yang tidak terbebaskan adalah mereka yang tidak mendapatkan keuntungan dari kesadaran modern".
Di sini yang dimaksud Parang Jati adalah bagaimana perusahaan tambang menjadikan takhyul sebagai alat untuk mengelabui masyarakat tradisional demi mendapatkan izin untuk mengeksploitasi dan mengeruk keuntungan.

2. Bab Monoterisme.
Diceritakan bagaimana asal muasal Parang Jati sesungguhnya. Tidak diketahui dengan rinci dari rahim ibu siapa ia lahir. Karena ia ditemukan begitu saja oleh seorang perempuan tua bernama Nyi manyar. Sosok yang dikenal di desanya sebagai dukun perempuan pawang hujan. Lalu selang beberapa tahun berikutnya Nyi Manyar lewat isyarat yang sampai kepadanya diketemukan kembali seorang bayi di tempat yang sama. Bayi kedua itu dikenal dengan nama Kupu-kupu. Parang Jati dibesarkan oleh Suhubudi, seorang laki-laki yang memiliki ilmu kebatinan dan pendiri Saduki Klan yaitu sirkus manusia-manusia aneh dan Parang Jati adalah salah satu diantara manusia-manusia tersebut. Sementara Kupu Kupu (kelak berganti nama menjadi Farisi) oleh Nyi Manyar diserahkan kepada sepasang suami istri sederhana yang hidup bertahun-tahun tanpa anak. Kupu-kupu dibesarkan dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan. Sementara Parang Jati dikelilingi kemewahan. Parang Jati dan Kupu-Kupu tumbuh menjadi remaja yang paling menonjol diantara semua kawan-kawannya di desa. Tidak hanya paling tampan diantara teman-temannya tapi juga pintar. Suatu hari pihak sekolah mengadakan sayembara menulis yang hadiahnya adalah beasiswa pendidikan ke Jerman. Tema yang ditentukan adalah tentang Hubungan antara Nyi Ratu Kidul dan Pandangan-pandangan Keagamaan. Lomba menulis ini akhirnya dimenangkan Kupu-kupu. Hingga ia berhasil mendapatkan beasiswa dan pergi ke Jerman. Namun ia putus ditengah jalan tidak sampai menyelesaikan pendidikannya karena ia sudah dihinggapi sikap antipati dengan lingkungan sekitarnya. Dan saat kembali ke kampung halamannya. Kupu-kupu berubah nama menjadi Farisi, sosok yang menganggap pandangannya tentang kepercayaan-kepercayaan leluhur yang biasa dilakukan penduduk desa turun temurun adalah tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Ia beranggapan bahwa sajen dan segala ritual yang biasa dilakukan sejak leluhurnya lahir adalah sebuah tradisi yang menyesatkan karena menurutnya tradisi seperti itu termasuk menyekutukan Tuhan. Sementara menurut pikiran Jati tradisi yang sudah rutin dilakukan masyarakat seperti membuat sajen ataupun melarungkan persembahan ke laut pantai selatan adalah sekedar wujud penghormatan kepada alam tidak lebih dari pemujaan itu sendiri. Sejak kompetisi lomba disekolah itu Kupu-Kupu mulai berseberangan dengan Parang Jati. Sosok yang tadinya sangat ia kagumi.
Disinilah penulis menjabarkan seperti apa monoteisme itu memiliki sisi negatif karena kekuasaan akan sebuah kepercayaan menjadi pembenaran untuk memberikan cap salah dan benar akan sebuah tradisi. Sementara Parang Jati sebagai laku kritik membeberkan pandangannya dalam sebuah catatan dalam jurnal pribadinya yang dibaca Yuda kelak ketika Jati sudah tidak ada. Dalam jurnal itu Jati bertanya-tanya kenapa monoteisme begitu tidak tahan pada perbedaan?

" Kecenderungan ini begitu kuat pada agama-agama Semit yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Selain tampak pada perilaku para penganutnya, terdapat pola dalil-dalil yang membenarkan hujatan dan tindakan untuk meniadakan yang lain. Prilaku penganut selalu bisa dipolitisasi. Tapi bahwa ada dalil-dalil yang mendasari sifat anti terhadap nilai lain (anti liyan)..." (hal 321)

"Agama-agama timur sangat menekankan konsep ketiadaan, kekosongan sekaligus keutuhan. Konsep ini ada dalam kata sunyi, sunyat, sunya. Konsep ini ada pada bilangan nol. Sebaliknya monoteisme menekankan bilangan satu. Tuhan mereka satu. Persoalan sesungguhnya ada pertanyaan besar: apakah ketika mereka merumuskan itu manusia sudah menemukan bilangan nol? Apakah konsep nol sudah ada ketika manusia mencatat wahyu bahwa Tuhan itu satu?".
Bilangan yang memiliki properti nol sekaligus satu. Seperti nol ia melingkar, seperti satu, ia memiliki ujung-ujung yang terbuka adalah ketidakstabilan. Tapi gerak melingkarnya stabil. Ia adalah ketegangan antara kestabilan dan ketidakstabilan (hal 380).

3. Bab Militerisme.
Latar politik setelah era reformasi rezim militer masih terasa kental berkuasa. Diikutsertakan juga beberapa artikel-artikel yang memaparkan konflik dalam tubuh TNI dan Porli, dan terjadi ketidakstabilan politik, perkelahian antara polisi dan AD kerap terjadi, tumpang tindihnya wewenang. Masih adanya keterkaitan beberapa perangkat desa dan pihak-pihak pengusaha, juga turut sertanya oknum-oknum militer yang melindungi sebuah konspirasi persengkongkolan dalam bagi untung pengelolaan sumber daya alam yang ada di Watugunung.
Diceritakan bagaimana Parang Jati berupaya untuk menghentikan eksploitasi di Watugunung dengan mengenalkan ide pemahaman barunya yang dinamainya strategi budaya.
Ketika Yuda mencoba memberikan pemahaman kepada Jati bahwa tidak semua militer itu jelek. Seperti halnya Jati yang berupaya untuk memberikan petuahnya tentang sacred climbing(pemanjatan bersih). Yuda beranggapan kaum reformis terlalu sering mencela militer. Parang Jati juga menyimpan kebencian yang sama. Seolah-olah segala perilaku kekerasan berasal dari militer. Sementara Yuda menyimpan rapat-rapat pertemanannya dengan dua orang anggota militer dari Jati. Ia masih mempercayai bahwa Karna dan Kumbakarna tidak menjadi bagian yang seperti dicurigai Jati. militer memiliki dosa asal dalam diri mereka, begitulah Jati masih menganggap bahwa militer adalah perwujudan kekuasaan. Dan ketika terdengar isu pembunuhan dukun santet yang merebak pada masa era reformasi setelah mengalami pergantian presiden dari Habibi ke Gus Dur pihak militer masih tetap menjadi sosok yang menakutkan karena dicurigai masih terdengar beberapa berita kekerasan yang terjadi dibeberapa daerah.
Dalam babak militerisme ini diceritakan Yuda dan Jati mengajak Marja menelusuri kemisteriusan Goa Hu yang juga disebut Goa Hantu demi menemukan jejak Kabur bin Sasus, seorang lelaki yang dikabarkan bangkit dari kubur setelah kejadian serangan gigitan anjing buas. Berdasarkan petunjuk yang diberikan Mbok Manyarlah Yuda dan Jati berangkat menemukan jejak lelaki yang bangkit dari kubur itu di seputaran Goa Hu atau Goa Hantu.
Yuda beranggapan bahwa laku kritik yang ada pada sikap Jati sesungguhnya hanya sikap yang skeptis. Sikap yang sedia meragukan segala sesuatu. Sementara Yuda menganggap bahwa percaya pada sesuatu, bahkan percaya penuh sekalipun, seraya tahu dan sedia bahwa sesuatu itu selalu tertunda, kebenaran yang tertunda yang tidak mewujud hari ini.
Diawal cerita bisa ditilik sekilas bagaimana ending kisah sosok Parang Jati yang diungkapkan oleh Yuda. Yuda akhirnya harus menghadapi kenyataan bahwa sahabatnya Parang Jati pergi untuk selamanya dalam sebuah tragedi pengeroyokan yang dilakukan sekelompok orang dibawah pimpinan Kupu-Kupu.
Sementara Marja pun memutuskan pergi dan mengakhiri hubungannya dengan Yuda. Sejak awal kematian Jati disitulah akhir dari hubungan Marja dan Yuda. Kematian tragis Jati setelah kejadian ditangkap dalam sebuah pengintaian di Goa Hu/Hantu tempat dimana ditemukan mayat-mayat yang sudah dalam kondisi membusuk dan yang dicurigai selama ini telah bangkit dari kubur dan ternyata justru ada yang diam-diam memindahkan mayat-mayat tersebut kedalam goa. Dan entah mendapat info darimana Kupu-Kupu dan gerombolannya juga sedang melakukan pengintaian diwaktu yang sama dengan ekspedisi yang dilakukan Yuda dan Jati di Gua Hu. Jati diarak dan dikeroyok dengan tuduhan melakukan kegiatan sesat.
Pada bab-bab akhir Yuda tak pernah bisa melupakan kenangan-kenangan yang tercipta dengan sahabatnya. Kebenaran seperti misteri yang melingkupinya. Kematian tragis Jati adalah misteri baginya.

     "Kebenaran itu seperti ozon, jika ia di ketinggian manusia, terlalu dekat dengan tanah, maka ia menjadi racun. Ia merusak paru-paru dan menghentikan nafas kita. Tapi juga hanya dengan lapisan ozon sebagai kulit luar atmosfir sajalah kehidupan bisa bertumbuh di muka bumi. Ozon tak boleh dirusak. Sebab jika ia rusak maka tak ada lagi yang melindungi kita dari radiasi neraka matahari." (Hal. 522)
"Fu adalah dengan siapa Hu sebelumnya mengikatkan diri, sebelum radiasi memisahkan mereka."
"Tempat menyimpan rahasia adalah di antara jantung dan hati."
"Di antara kebaikan dan misteri tentang kebenaran, maka yang paling penting adalah kebaikan." (Hal 524).

 ***

 Buku ini memiliki kedalaman pemaparan cerita yang tidak hanya berfokus pada karakter tokohnya yang serba sempurna tanpa cacat sedikitpun, ataupun tokoh jahat yang tidak sepenuhnya jahat. Setiap manusia seberapa sempurnanya pasti menyimpan kelemahan. Begitupun sebaliknya. Seperti halnya sebuah kutipan kebenaran yang berulangkali didengungkan oleh penulisnya dalam novel ini. Bahwa kebenaran itu harus dipanggul dan tidak dijatuhkan ke bumi agar tidak menjelma menjadi kekuasaan, hanya kebaikan yang boleh mewujud pada hari ini.

Ada banyak pengetahuan-pengetahuan yang di ceritakan dari pengalaman dan pemikiran ketiga tokoh tersebut, mulai dari kisah-kisah sejarah, mitos-mitos, dongeng, keterkaitan kehidupan alam dan sekitarnya. Cerita ini benar-benar menyimpan banyak makna.
Buku ini adalah seri pertama dari 12 serial Bilangan Fu yang akan disajikan oleh sang penulis. Seri kedua berjudul Manjali dan Cakrabirawa. Ketiga tokoh dari seri pertama Bilangan Fu masih ditampilkan. Dengan halaman buku yang tidak setebal buku pertama dan cerita yang lebih ringan tapi tetap menyuguhkan hal-hal yang berbau sejarah dan misteri. Dari seri buku ini ceritanya tidak saling bersambung. Setiap buku memiliki inti ceritanya sendiri. Meski dalam buku pertama seri Bilangan Fu ini tokoh Jati akhirnya dihilangkan tapi dalam seri yang kedua sosoknya dimunculkan kembali.


****




Komentar